UPIK ABU
Sejatinya seorang anak yang dilahirkan karunia Allah Ta'ala. Menjadi perempuan atau lelaki itu adalah rezeki pilihan Tuhan, manusia hanya perlu bersyukur atas jalan yang telah dibuka lebar. Ibarat barang, seorang anak hanya sebuah titipan, kalau Tuhan lebih sayang maka dia harus pulang. Kalau engkau yang lebih sayang, maka Tuhan selalu mengizinkan hidup dalam kebersamaan. Kalimat ini hanya bagian dari pembuka ceritaku.
Perempuan, aku selalu bangga dengan kata ini. Menjadi perempuan adalah kodrat yang diberikan Tuhan. Hobinya bercanda dengan perasaan, keseriusannya hanya untuk beberapa hal yang menurutnya sakral, Tuhan. Tapi, kini aku tak terlalu senang dengan kata itu. Aku dilahirkan sebagai nazar orang tuaku, setelah apa-apa yang ada di masalalu membuat ia terbelenggu. Rambutku panjang sekali, kata ayah ini adalah nazar sejak aku menjadi janin. kata ibu, ini adalah tanda bahwa memiliki rezeki yang panjang, sepanjang rambutku. Tapi, kataku, ini adalah jalan menuju ketidakdewasaan, karena apa-apa yang menjadi pilihan, semua dipatahkan. Semua berawal dari tamat SMK, aku dipaksa kuliah hanya untuk membalas sakitnya hati orang tua. Kejadian abangku yang putus kuliah pada di semester tiga di Universitas Islam ternama. Aku tahu, sejak hari itu aku harus mengembalikan lagi perasaan ayah ibu yang terbelenggu. Aku juga paham, aku perempuan yang harus menggantikan apa pekerjaan ayah di instansi pemerintahan.
Mimpiku menjadi guru, karena hanya dengan ini aku bisa membalas semua pengorbanan ayah ibu lewat ilmu. Investasi pendidikan tujuanku, bukan malah memperbanyak untuk kekayaan dan penilaian orang terhadap keluargaku. Aku berhenti mengajar setelah masalah yang tak kunjung usai, berharap ayah paham bahwa aku perempuan. Dipaksa menjadi seorang pegawa negeri, yang belekrja di perusahaan besar dengan pendapatan yang besar. Aku dilahirkan bukan untuk menggantikan keinginan mereka yang belum terpenuhi, tapi harusnya memperbaiki keturunan keluargaku yang mungkin hampir musnah karena lupa mengambil hidayah.
Setelah empat tahun kululus kuliah, ayah hanya sibuk menjaga anak lelaki keduanya yang justru sering membuat keluarga terpecah belah. Ibu hanya sibuk dengan anak pertamanya, anak lelaki yang katanya sangat membanggakan, dan tak pernah melukai perasaan. Abang sapianku, sudah sibuk dengan keluarga kecilnya. Aku, hanya sibuk memilikirkan bagaimana menjadi anak yang ayah dan ibu mau.
Sejak kecil aku sudah diajarkan untuk tidak meminta lebih apa yang ada di pikiranku, semua karena keterbatasan pendapatan ayah. Pendidikanlah yang menjadi tujuan utama mengapa ayah harus keras mencari nafkah. Waktuku kecil ayah pernah meminta maaf tentang ia yang tak pernah mengajakku jalan-jalan seperti apa yang teman-temanku rasakan. Ketika aku duduk di bangku SMK-pun ayah kembali meminta maaf, karena tak bisa membelikan barang-barang sperti apa yang teman-temanku rasakan. Aku tidak pernah peduli apa keadaan teman-temanku, menurutku ayah tetap menjadi yang terkuat untuk ibu yang memiliki tekad kuat. Hal inilah yang membuatku membuka usaha, setelah ku berhenti mengajar di sekolah. Hasil yang aku dapatkan hampir setara dengan pendapatanku sebagai guru, dan dari sinilah aku bisa membantu sedikit apa yang menjadi kekurangan ibu.
Usaha tetaplah usaha, benar-benar harus diusahakan. Sama seperti apa yang ayah inginkan, menyuruhku menjadi perempuan yang senang berjibaku di instansi pemerintahan. Pegawai negeri yang menjadi tujuan ayah ibuku. Tidak boleh menikah sebelum aku dapat memakan gajiku sendiri, padahal usiaku bukan lagi usia anak remaja. Tahun ini usiaku 23, ini adlah cta-cita dimana aku harus sudah menikah. tapi, nyatanya, aku harus kembai bernjalan agar apa-apa yang mereka inginkan tercapai. Mungkin, kalau usaiaku tak lama, aku ingin mereka tahu, bahwa cita-citaku menikah di usia muda. Karena aku dilahirkan untuk memiliki cita-cita, yang bukan hanya menjadi sketsa.
Komentar
Posting Komentar