Patriarki
Menikah memang ibadah paling menyenangkan diantara semua ibadah sunah. Namun, jangan salah ibadah sunah ini bukan ibadah yang gratis. Ya, bukan matrealistis, namun memang begitu adanya. Banyak yang berasumsi, jangan menunggu mapan kalau mau manikah. Karena, rezeki menikah itu benar adanya. Tapi apa jadinya ketika dua insan memaksa menikah apa adanya? Apakah yakin rezeki itu bisa datang sendiri tanpa usaha? Apakah yakin bisa seorang suami menjadi raja dan istri menjadi ratunya? Yuk kita bahas.
Memang sedikit miris, banyak kasihanya, dengan semua persepsi perempuan yang ingin lekas menikah karena ibadah. Atau laki-laki yang juga ingin lekas menikah karena percaya pertolongan Tuhan-Nya. Banyak sekali kasus perempuan sakit jiwa karena memaksa membangun keluarga. Banyak juga kasus laki-laki patriarki yang bermasalah dengan harta. Perempuan yang belum cukup ilmu, sudah cukup berani menikah tanpa bekal. Mengurus suami, anak, belum lagi keluarga suami. Mengerjakan rumah sendiri, tapi anak juga harus dididik dengan benar, dijaga dengan sehat, disayang tanpa bentakan. Sedangkan suaminya juga tak cukup ilmu dan harta untuk memenuhi tangki cinta istrinya. Tak bisa membayar pembantu juga tak bisa membantu. Tak bisa mengajak ibadah tapi memaksa istri beribadah. Memberikan asumsi sedekah untuk julukan Ibu Rumah Tangga.
Banyak juga laki- laki yang ingin menjadi raja, dicucikan bajunya, disiapkan makan dan minumnya, disiapkan segala kebutuhannya, dan diberikan pelayanan lembut oleh istrinya. Namun, mereka sering lupa bahkan tak tahu apa itu apresiasi atau sekedar frasa terima kasih. Banyak juga wanita yang ingin diratukan oleh suaminya, diberikan segalanya dengan mudah. Disayang dan dicintai sepenuh hati, namun lupa syarat menjadi istri yang baik. Menjadi lelaki patriarki atau wanita tak tahu diri memang belum pantas membangun rumah tangga, itulah mengapa mereka harus cukup harta dan ilmu untuk bisa menjadi suami yang baik dan istri yang taat.
Kasus perempuan dengan enxiety ternyata kasus terbanyak yang diderita wanita, terutama seorang ibu. Kasus yang mungkin tak pernah terpikirkan oleh perempuan percaya diri, padahal masalah bisa datang kepada siapa saja. Bahkan hampir 30% laki-laki tak percaya enxiety, karena mereka tak pernah merasakannya. Ada juga suami yang tak sadar bahwa ia adalah penyebab seorang sakit jiwanya. Artikel ini bukan sedang membela kaum hawa, namun kasusnya memang banyak berakibat dari lelaki yang tak tahu kewajibanya. Padahal hak- haknya sudah didapatkan tanpa harus diminta, namun kewajbanya sering terlewat atau dilupa dengan sengaja.
Ibu rumah tangga adalah orang yang paling kuat berpikir, bercerita, dan mengerjakan semua dengan kekuatannya sendiri. Dari matahari terbit, tangan dan kakinya tak berhenti bergerak di rumah. Merapihkan segala yang berantakan, atau membersihkan segala yang kotor. Belum lagi memasak dan mengurus anak- anaknya. Sebelum tidur, otaknya sudah merencakan semua yang harus dikerjakan esok hari, ketika tidur mimpinya sudah tak enak karena banyak beban yang ditanggung sendiri. Setelah bangun esok pagi, ia dikejar- kejar kewajiban. Bahkan sering lupa merawat dirinya sendiri. Mandi cukup bersih, makan cukup kenyang, ibadah cukup terlaksana, Namun, semua itu tak benar- benar dijalankannya dengan hati yang tenang. Karena seringkali dikejar- kejar oleh sesuatu yang katanya kewajiban perempuan. Duduk sebentar melihat gawaipun sering dianggap kelalaian.
Kasihan sekali perempuan yang sudah dijuluki istri sekaligus ibu. Bercerita sering dianggap mengeluh, padahal lelahnya tak pernah dilihat. Bagaimana mendapatkan apresiasi, ucapan terima kasih saja terasa mahal baginya. Ia sering memeluk dirinya sendiri yang penuh luka. Ia juga sering sekali membela dirinya lalu dianggap tinggi egonya. Sakit jiwanya, karena telinga yang ia harapkan mendengar tak pernah percaya bahwa ia lelah, bahwa ia butuh bantuan, namun ia dibebankan dengan segala kewajiban. Apalagi dengan ibu yang menambahkan profesinya sebagai pekerja, bebanya sama di rumah, di kantor pun dikejar kewajiban demi sebuah nominal. Namun, apresiasi tak ia dapatkan, justru cacian jikalau pekerjaan rumah lalai ia kerjakan. Miris sekali dengan asumsi manusia serakah, ingin dihargai sebagai manusia, namun sering sekali memperbudak perempuan layaknya binatang.
Semakin berkembang ilmu pengetahun, semakin berlaku pula penyetaraan gender. Bahwa yang bekerja tak harus laki- laki, kualifikasi berlaku bagi siapapun yang memiliki kemauan. Tak heran, banyak perempuan mandiri yang menghidupkan anak- anaknya sendiri tanpa ketakutan kekurangan. Bahkan ia merasa, bisa mengurus segalanya sendiri tanpa suami. Karena, terlalu banyak yang harus diselesaikan, namun tak pernah mendapatkan penghargaan. Itulah mengapa, menikah memang butuh ilmu dan harta. Karena tangki cinta untuk kelurga tak akan terisi oleh laki- laki yang tak tahu apa bentuk cinta, juga tak akan ada keluarga sejahtera tanpa kecukupan harta.
Memang tak ada keluarga yang sempurna, namun pada dasarnya ilmu harus dikaji, dan harta harus diusahakan. Jika ada yang kurang semua harus belajar, bukan pasrah dan tetap meyakinkan "inilah aku dengan segala kekurangan." karena untuk mejadi seorang raja ia harus membangun istana dengan ilmu dan cukup harta. Karena cintanya orang yang berumahtangga bukan sekedar puisi atau setangkai bunga mawar merah muda. Tapi bagaimana semua kalimat dalam puisi terelasasi dan bahasa cinta bukan lagi sebuah teori. -Pr
Komentar
Posting Komentar