Mata, Pikiran, dan Perasaan.
Berbicara tentang kejujuran, setiap orang selalu berasumsi tentang apa yang mereka pikirkan. Motif yang paling mendasar adalah kebutuhan mereka sendiri. Ingin berlaku jujur atau mungkin berbohong? Tidak semua orang dapat menggunakan lisan dengan pikiran yang benar. Tidak semua orang pula dapat menggunakan pikiran untuk berlaku yang benar. Banyak orang berorasi tentang kebenaran berdasarkan apa yang mereka dengar. Namun, lebih banyak lagi yang berasumsi ketidakbenaran berdasarkan apa yang mereka percayai. Konsistensi hidup ini bukan tentang siapa yang membela diri kita agar tetap baik pada penilaian orang lain. Melainkan, mendefinisikan setiap kebaikan untuk diperjuangkan dengan cara yang baik. Layakanya memerjuangkan keadilan untuk diri sendiri. Bersikap adil dengan melawan fakta yang terjadi, bersikap adil dengan kekurangan dan kelebihan yang Tuhan berikan, dan bersikap adil untuk menyikapi hak dan kewajiban sebagai seorang insan.
Analisa hidup ini selalu berawal dari apa yang kita lihat dengan mata, masuk dalam pikiran berubah menjadi gagasan, dan diolah dengan hati agar apa yang menjadi asumsi dapat terimplementasi. Itulah mengapa banyak orang hanya menilai dengan satu sisi. Penglihatannya belum teranalisa secara menyeluruh, terlalu terburu-buru menilai dengan perasaan. Lupa dengan Tuhan, Bahwa diciptakannya pikiran untuk mengorganisasi gagasan, agar apa yang dibicarakan berusaha memengaruhi pendengar dengan benar.
Satu contoh mudah yang dapat Saya ambil, ketika Najwa Shihab menggunakan nama Mata Najwa sebagai judul acara televisinya. Asumsi saya, mata selalu berkata sesuai fakta, itulah mengapa banyak membaca dapat membuka pintu dunia. Secara sadar, kebiasaan telinga yang mendengar tanpa menganalisa, dapat membatasi pikiran untuk mempersepsikan suatu hal secara benar dan menutup hati untuk dapat menilai dengan teliti. Semestinya, jika membaca bukan sesuatu hobi, maka melihat dari berbagai sisi dapat meminimalisasi pikiran kotor untuk berasumsi.
Menjadi diri sendiri adalah bagian yang paling sulit yang dilakukan oleh setiap orang, walaupun tidak semuanya menjadi diri orang lain. Dewasa ini, dalam menghadapi setiap perbedaan kita harus berlakon sesuai dengan konteksnya. Namun, bukan berarti menghilangkan jati diri yang harusnya tertanam lebih dalam dari lakon yang kita perankan. Maka, memanfaatkan fasilitas yang sudah Tuhan ciptakan dapat menjadi salah satu tameng agar tetap konsisten pada tujuan. Menggunakan mata untuk melihat secara keseluruhan, mengorganisasi gagasan dalam pikiran secara benar, dan mengolah perasaan agar lisan dan perbuatan menjadi sejalan.
Dengan demikian, kebenaran bukan saja apa yang saya lihat dengan mata kanan. Bukan saja tentang apa yang saya asumsikan dalam pikiran. Bukan juga menilai sesuatu dengan hati nurani. Namun, ketiganya menjadi satu kesatuan, tujuannya untuk berlaku jujur dengan kenyataan atau berbohong demi demi menerima kenyataan. Kembali pada Tuhan, jangan jadikan Tuhan sebagai budak dalam menyelesaikan pertikaian, tapi menjadikan Tuhan sebegai pegangan baik dalam menyikapi kesejahteraan ataupun permasalahan hidup yang datang karena kecerobohan.

Komentar
Posting Komentar