Andai Tuhan Bertulang
Aku pasti rindu pelukan-Nya
Tidak ada yang salah tentang apa
yang menjadi pilihan. Banyak orang yang berkorban untuk sebuah kehidupan.
Namun, kurasa aku tidak. Setiap waktuku rasanya tersakiti dan setiap hariku
rasanya ingin mati. Aku tahu apa yang menjadi penyebabnya, namun menceritakan
penyebab kesalahan, seperti mencari pembelaan. Permasalahannya satu, aku
menjauh dari Tuhanku. Setelah lelah menghitung berapa lama masalah dalam
keluarga yang tak tahu kapan dan dimana ujungnya. setelah kutahu bercerita pada
siapa-siapa juga tidak mendapatkan apa-apa. Aku memilih membisu dan kembali
pada kodratku sebagai hamba, yang ikhlas tak ikhlas harus menerima.
Andai Tuhan bertulang. Mungkin,
aku akan merindukan pelukan tiap malam. Mungkin juga, aku tak kenal dengan kata
pacaran. Dulu, pacarku yang mengajarkanku pelukan. Katanya, itu tanda
kerinduan. Nyatanya, itu hanya salah satu dari seribu alasan si tuan. Sayang,
imanku tak sekuat nafsuku. Rela melepas kewajiban sebagai perempuan, hanya
untuk kesenangan mingguan. Tiap kali pergi dari rumah, selalu saja tertawa,
lupa bahwa kutinggalkan ibu di rumah. Namun, ketika kuharus pulang, aku kembali
pada renungan tiap malam. Bukan petuah yang kudapatkan, tapi rasa penyesalan
meninggalkan perintah Tuhan.
Sebenarnya semua bisa kujalani
dengan lapang dada. Namun, sayang aku terus menjadi pemeran utama saat masalah
dalam keluargaku, tak menjadikanku perempuan kuat seperti ibu. Usiaku dua puluh
dua. Usia masalah keluargaku juga tak jauh berbeda. Ya, perbedaanya kurang dari
satu dasawarsa. Setiap detik, menit, jam, pelampiasan emosi adalah makanan sehari-hari.
Hanya tinggal menambahkan sepiring nasi, kutuang beberapa bahan pemanis agar
tak terlalu pahit apa yang telah kugigit.
Ayah ibuku, adalah tanda cinta
Tuhanku. Melahirkan tiga tuan, untuk menjagaku sebagai perempuan. Dari kecil kuingin
merasakan apa yang teman-teman rasankan. Kalaupun tak pernah pergi bertamasya,
aku ingin masih bisa tertawa bahagia. Katanya, abang lelakiku yang kedua
sedikit berbeda. Perbedaanya menjadi kekuatan sekaligus cobaan kehidupan.
Sikapnya keras kepala, bertindak semaunya, sudah tidak peduli pada siapa ia
berbicara. Belasan tahun, ayah harus menjadi pahlawan dan ibu yang berpura-pura
menguatkan perasaan. Imbasnya, adalah kehilangan kebahagiaan keluarga. Sudah
lama aku ingin bercerita, namun kumasih terus menganalisa sampai dimana aku
bertemu akhir dari masalah.
Singkatnya, harta bendaku hancur
karena emosi. Kebahagiaan ayah ibuku, menjadi cita-cita setiap hari. Ketenangan
keluargaku, hanya harapan dikala kami tidur dan bermimpi. Tak ada lagi rasa
khidmat sebagai seorang umat. Tak ada lagi rasa bersalah karena tingkah
lakunya. Mencaci maki ayah untuk menagih janji, memukul perasaan ibu yang
katanya pilih kasih. Meminta uang semaunya, tak peduli esok keluarga makan apa.
Ayah memang pegawai negeri, namun gajinya habis untuk melunasi hutang-hutang
yang menyakitkan. Sampai sebelum hari pensiunnya, ia harus melunasi hutang
abang yang dipakai untuk biaya pernikahan. Namun, manusia diciptaka unutk
ketidakpuasan, masih saja ayah yang jadi bahan tuntutan demi keegoisan
perasaan.
Hanya tinggal aku, si bungsu ayah
dan ibu. Seharusnya, di hari tua mereka aku yang menjadi penjaga. Namun
nyatanya, aku masih diperlakukan seperti puteri. Luka sedikit perasaanku,
mereka yang akan berdarah.
“Tuhan salahkah aku? Menikah
mencari penjaga. Untuk ayah ibu yang usianya sudah tak lagi muda. Untuk mengakhiri
kesakitan yang selama ini tak terdiagnosa. Juga untuk berhenti berkhianat pada
kodrat.”
Komentar
Posting Komentar