JODOH IN TAJURHALANG

Ada senja yang bercerita tentang akhir dari cinta. Tapi tidak cinta kita. Kita, yang sedang muda. Menikmati segalanya yang indah. Bersyukur atas setiap kesempatan Tuhan. Menerima setiap kesepakatan Tuhan atas doa dan permintaan.  Kata Ben, Filosofi Kopi 2 Setiap yang punya rasa, selalu punya nyawa. Bagaimana kalau nyawa rasaku dimatikan Tuhan diusia muda hubungan kita? Apakah engkau tetap berusaha? Apakah engkau tetap pada kata setia? Kita yang memiliki segala hal yang sama. Juga merasakan menjalankan hubungan berbeda dari sebelumnya. Engkau yang terlihat egois akan apa yang kau pinta, itulah gambaran sikapku. Engkau yang selalu ingin saja menang atas segala keinginan, itulah gambaran sikapku. Engkau yang selalu saja mengobarkan api saat mentari pagi menyambut hari, ya! Itu juga gambaran sikapku. Kita sama. Sama-sama keras kepala. Sama halnya ketika hubungan tak ingin dihentikan. Ada sesuatu yang mempertahankan. Rasa. Ya rasa, bukan hanya sekedar genggaman tangan.
Tuan, boleh aku meminta senyuman? Pada setiap masalah dan kesakitan yang menghadang. Pada setiap malam yang menaruh benih kerinduan. Pada setiap pagi yang datang bertamu dengan rindu, tanpa salam. Atau pada setiap senja, saat aku mulai sepi menahannya, sendrian.
Afian. Ya, nama inilah yang sering aku ceritakan pada Tuhan. Tentang keegoisan, ketidak inginkalahan  dan rindu, yang membuatku hanyut saat malam datang. Tuan muda ini adalah lelaki pilihan. Saatku tak mampu  membuka lembaran baru. Kupikir sulit, saat [Id] tak ingin membuka segala yang manis, semanis Pop ice coklat biskuit. Tapi [Ego] adalah saatku harus berpikir bagaimanaku harus menerima kenyataan baru. [Super ego] ini bukan tentang tak enak menolak perjodohan, kubuka hati, melupakan segala sejarah yang menyakitkan, membiarkan rasa pop ice coklat biskuit ini kunikmati pelan-pelan. Aku memang belum jatuh cinta. Menerima bukan karena terpaksa. Setiap pilihan selalu saja ada jalannya, jalan berlubang, atau bahkan banyak jalan halus seperti mengendari mobil di Tol Cipularang.
Aku teringat 32 minggu yang lalu, saat waktu mengizinan kita bertemu. Pertemuan kita di sekolah menengah pertama sudah lebih dari  365 hari. Aku tak pernah mengenalmu, apalagi kamu. Kita adalah dua orang yang diberi tugas membagikan segala certa yang kita punya, pada anak-anak di sekolah. Engkau yang mengajarkan mereka, bagaimana berlindung dari musuh yang datang, memasang kuda-kuda, bersiap dengan segala jurus, lalu menghadang mereka yang mengajak perkelaihan. Sedangkan aku, mengajarkan bagaimana berteman dengan lingkungan, menghadapi setiap pagi yang yang datang, bersahabat dengan panasnya siang yang menghadang, atau tetap pada kata setia meski langit kelabu. Kita tak pernah tahu kapan waktu mempertemukan. Ini adalah sebuah keajaiban dan bukan hanya kebetulan.
Kata papahmu, kelahiran kita yang sama mampu menghancurkan rasa. Tapi aku tak pernah percaya, Tuhan memang mempasangkan dua hal dengan segala yang berbeda. Yang hitam dengan yang putih. Yang pendek dengan yang tinggi. Memang berbulan-berbulan aku harus belajar menumbuhkan rasa. Bersyukur dengan segala yang telah aku punya. Setelah sejarah mengajarkanku bagaimana pahitnya menerima. Sekarang, aku lebih kuat dari terumbu karang, pada setiap masalah yang datang. Entah ini adalah cobaan atau memang teguran, bahwa Tuhan sedang merindukan aku dalam pelukan. 
Seiring waktu berjalan, engkau seperti takut pada ayah ibuku. Ini tentang pendidikan. Hanya karenaku duduk di perkuliahan, sedangkan engkau berjuang menempuh beban kehidupan. Ini jalan berlubang. Hanya karena kata Pendidikan, menjadi bumerang bagi hubungan.
Aku hanya seorang pekerja, bukan anak kuliahan. Sedangkan kamu? Kedudukanmu akan lebih tinggi ketika kita nanti berumah tangga. Itu yang selalu ia katakan dalam keluhan
Kita memilki kedudukan masing-masing. Jangan bicarakan pendididikan. Aku adalah perempuan, kodratku melahirkan. Jika kelak kita berumah tangga, engkau adalah kunci surga. Aku takan mungkin membantah. Sekarang aku hanya menjalankan kewajiban.
Tapi bagaimana dengan orangtuamu? Apakah akan sepenuhnya menerimaku?
Orangtua selalu tahu, ini kita yang menjalankan. Orangtuaku tak pernah memilih, mengiginkan lelaki yang tampan atau mapan dengan kata kerjaan. Kita jalankan sayang! Tuhan tahu, yang terbaik  kata orang, belum tentu baik untuk kita. Kita yang sama dengan segala keegoisan. Aku selalu ingin berhenti saat tak kuat menahan cobaan, tapi ada engkau yang selalu saja menguatkan. Apakah ingin kau hentikan tuan?
Tidak, aku tak ingin melepaskan!. 

***

730 hari.
Engkau sibuk dengan pekerjaan, mengabdikan hidup di dunia persilatan, menjalankan perkuliahan mencapai gelar, dan mengumpulkan logam-logam yang tak ternilai. Sedangkanku, sibuk memperbaiki jilbab sebagai seorang perempuan, belajar membuat secangkir kopi tuk memaniskan masa depan, tetap pada bangku perkuliahan, juga mengabdikan diri pada sekolah anak usia dini. Kita memang berjalan sendiri-sendiri, kalau kata santri ini adalah Nafshi. Bukan karena tak dapat ridho Illahi. Ini adalah perjalanan membenarkan perasaan dalam kata hubungan. Berat. Bahkan seringku bercerita tak kuat, pada Tuhan. Aku perempuan, sulit menahan kerinduan. Tapi Tuhan mengingatkankudengan segala gombalan, ayat-ayat Al-Quran.
Dalam doa dan telepon genggam kita mempertahankan perasaan. Setiap waktu yang datang bertamu, menjamu hangat kata rindu. Malam itu, telepon ganggamku bernyanyi riang, seperti ada yang datang diwaktu kelam. Ada pesan yang menghantarkan rindu.
“Assalamualaikum neng? 
Waalaikumuusalam, mas Fian Kubaca dengan air mata,
Katanya Sudah lamaku rindu denganmu Pesan ini singkat,
“Sama seperti rasaku, mas” Tetapi jelas seperti rasa kita.
Engkau adalah lelaki setia. Setelah lebih dari 17.520 jam kita berjalan mencapai paran. Mengaharapkan setiap keridhoan, dari papah-mamahmu, dari ayah-ibuku, terutama ridho Tuhan. Engkau yang selalu berjuang, menjalankan kewajiban menempuh beban, berusaha tetap pada bangku perkuliahan, juga menabung untuk pesta pernikahan. Aku yang selalu memperbaiki kodratku sebagai perempuan. Meski waktu tak selalu mempertemukan. Kita adalah dua pejuang, yang tak pernah henti berusaha dan menggengamkan harapan. Sampai undangan tercetak untuk hari kebahagiaan. 

***

25 November 2019
Pagi itu. aku sedang berjibaku di halaman depan rumahku. Berjilbab layaknya pembantu, memagang sapu, dan pengki yang sudah dipenuhi debu. Kukira siapa, datang dengan kejutan. 
Assalamualaikum neng
Waalaikumussalam. Mas?
Iya, ini aku.
Kau datang bersama papah-mamah dan banyak saudara. Parsel-parsel yang terbungkus indah. Isi salah satunya adalah jubah dan Al-Quran yang berwarna biru, dihiasi bunga merah jambu. Saat mamah-papah, ayah-ibu, dan banyak sadaramu berbicara satu persatu. Berbicara tentang kita, kita untuk mencapai hari yang baru. Hari yang menjadi tujuan dalam perjalanan, hari yang menjadi harapan pada setiap sujud khusyu kita di malam datang. Hari ini adalah hari ulang tahunku, tepat pada usia 23. Hari ini hari bahagia. Apakah ini sebuah hadiah? Saat semua yang kuharapkan datang seperti keajaiban. Memang sudah semestinya kenyataan ini datang, bukan hanya dalam khayalan.
Aku terharu. Seketika membisu. Mataku berbinar, menahan air mata bahagia. Saat kau memintaku menemanimu, tuk membangun surga dalam kata rumah tangga. Dalam gemetar ia berbicara.
Bismilahirrahmanirrahim. Izinkan aku menjadikanmu muhrim. Temaniku dalam pembangunan surga rumah tangga. Apakah engkau bersedia?.
Jawabku hanya mengodekan kepala, air mata bahagia yang berbicara, mengartikan maksudku, meginginkanmu membuatkan surga untukku, untuk anak-cucuku.

***

Hari ini. 18 Desember 2019. Tepat saat kita bertemu 4 tahun yang lalu. Alhamdulillah, kita sudah menjadi dua insan yang sah, membangun Surga rumah tangga.

***SELESAI***

Komentar

Postingan Populer