Nutrisi Kata
Masa-masa labilku sedang bergejolak. Aku seperti api, yang disiram bensin dan ditaburi ranting kering jalanan. Aih! Sayang sekali. Pintu dewasaku diawali dengan salahnya memilih kunci. SMK Keperawatan. Ya sekolah itu, seharusnya sekolah yang ku pilih menjadi kunciku untuk membuka pintu. Pintu yang mempersilahkankan tangan dan kakiku berjalan dengan kata, berlari dengan frasa, dan beristirahat dengan cerita. P-E-N-U-L-I-S. Ya kata penulis itulah yang selalu mengajak pikiranku hidup dengan anak-cucuku. Ah! Aku jelu. Harus berkenalan dan berpura-pura nyaman pada dunia vulgar. Membuka lengan setiap orang, untukku tarukan stetoskop dan alat tensi berisi air raksa. Membuka celana dalam ibu partus, laluku bersihkan lubang kenikmatan. Atau membiarkan tanganku membelai tubuh dibalik baju, dengan selembar waslap tak kering agak basah. Di rumah yang tak pernah sehat. Aih! Berkali-kali penyesalanku tertuang, hanya pada kata. Sudahlah! Tidak ada guna semua. Aku hanya perlu menghargai ayah dan ibu yang berjibaku tanpa keluh di rumah.
Tidak ada yang salah, tetap menjadi putri kecil untuk ayah dan ibu, yang berperan lugu dalam keadaan jelu. [Id] hanya membiarkanku berpikir apa itu kata. [Ego] akan mengajakku menjamah setiap frasa. Meski, [Super ego] tak membiarkanku bercerita tentang sastra. Tidak masalah. Ya tidak masalah. Aku hanya perlu membiarkan keringatku memandamkan api egoku, bertahan meski tersiram bensin atau membiarkan bising angin yang membawa ranting bertaburan. Aku hanya butuh alat, untuk alas yang menjadikan air mataku bermuara, diantara ubin dan jidat. Semangat. Ya disitulah tempat kata semangat. Mengarungi lebih dari 17.280 jam mencapai ikhlas. Aku tak cukup tua mencari jalan. Saat itulah, Pramuka yang aku temukan. Bertopi koboy tanpa harus melepas mahkota iman. Berpakaian coklat rapih, yang berarti kesetiaan. Bercelana seperti letnan, dan bersepatu seperti bapak-bapak pegawai. Tidak angkuh. Berteman dengan awan biru, bersahabat dengan langit kelabu, atau selalu berkasih dengan langit hitam kelam. Sungguh! Itu adalah tempat kebahagiaan. Membantuku menghapus sketasa penyesalan, tentang rasa salah yang hampir tak dapat padam.
Pakaian letnan ini, seperti menjadikanku pahlawan dadakan. Memberi pundak kuatku, pada siapapun yang membutuhkan. Sampaiku lupa, bahwa aku sedang rapuh. Entah ini hanya caraku berpura-pura tertawa, atau memang benar bahagia. Tuhan punya banyak kata, membiarkanku salah dan bersemayam pada penyesalan. Lalu diselipkan hikmah yang terbungkus indah pada kotak kado nan mewah. Setelah lelah bersabar lebih dari seribu hari, akhirnya aku terlepas dari rumah tak sehat dan sekolah vulgar itu. Bergegas melangkahkan kaki. Mencari universitas yang akan menemaniku menjamah kata dalam sastra. Ya sastra, tentang keindahan rasa dan kata, mengarungi pikiran-pikiran manusia, mengelilingi dunia dengan maya. Ada sejarah yang mengajarkanku bagaiman teori tercipta dari kumpulan kepala manusia. Meski terus terkeritik, tetap saja lahirnya sebuah karya akan tetap terasa manisnya estetika. Hei Saudara! Tapi bukan itu yang sebenarnya ingin aku ceritakan. Seketika sepucuk surat tergeletak di bawah pintu rumahku. Lembaran kertas itu seperti berbicara tentang isi kotak kado nan mewah, dan berkata Tersenyumlah! Beri cerita yang kau miliki pada anak-anak bangsa. Didiklah mereka yang sedang mencari kata di Sekolah Menengah Pertama. Pembina Pramuka, pembina yang mewariskan pemuda-pemuda berkarya. Ya, sebuah profesi baru yang namanya tak asing di kepalaku. Karya terbesarku adalah keberanian mengahadapi dunia nyata. Tetap berjalan dengan bangku kuliah dan bercerita suka ria dengan mereka yang sedang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Meski ayah tak suka dan tidak pernah setuju. Ia lebih menginginkanku menjadi seorang perawat atau bidan yang cantik di rumah tak sehat. Aku tidak peduli, biarlah ayah marah. Aku tetap pada kata hati. Menjadi wanita yang jauh dari kata sempurna, yang hobinya memperkosa lembaran tak berdosa dengan kata.
Hidup tidak seindah cerita dongeng Cinderella. Meski hidupnya disiksa ibu tiri, tetap saja selalu ada ibu peri yang melindungi. Kalau saja aku bertemu ibu peri, aku ingin meminta mobil mewah untuk ayah pergi kerja, rumah yang besar untuk ponakan-ponakanku yang sudah mulai dewasa atau segudang emas untukku cadangkan di kehidupan yang akan datang. Laluku agangkat kakiku, meninggalkan kuliah, meninggalkan pekerjaan, hidupku tentram tapi ditindas oleh zaman.What think about it? Aku sebenarnya tak lebih memikirkan hal itu. Aku sedang merasakan api besar yang datang membawa banyak ujian, ya ujian. Hidup tak seindah khayalan, ketika semua kebahagiaan berjalan seperti apa yang aku inginkan. Titik jenuhpun datang bertamu, seperti kembali kekehidupan berabad-abad yang silam. Dijajah bangsa Belanda, dirampas semua kekayaan remah-rempah, rakyat dipekerjakan seperti sampah, dapat makan syukur, tidakpun yasudahlah. Tapi ya itu hidup, tak seindah cerita Cinderalla. Sama halnya aku ketika sudah mencapai 1.440 jam berjalan. Berbagi cerita pada anak-anak sekolahan. Ya mungkin hanya karena berbekal sedikit pengalaman. Mengahadapi anak zaman tak semudah perencanaan. Meski terlihat berbahagia, tetap saja hatiku seperti diuji kesabaran, volume pernapasanpun sudah tak beraturan, apalagi denyut nadiku, uh sudah tak lagi normal. Setiap kali pertemuan, aku harus berpura-pura sarkas, belajar tegas menghadapi mereka, yang tak bisa dinasehati dengan majas.
Kembali pada puisi. Ketika semua masalah datang tiba-tiba. Menyusun kata demi kata, akan berusaha mencapai frasa atau klausa? Ya pada intinya aku ingin beristirahat sejenak dengan cerita. Benar kata ibu, jeluku tak selalu bertamu. Lelahku adalah berkah. Tiba-tiba telepon genggamku bernyanyi riang, memberitahukan kebahagiaan. Hari itu aku harus jalan untuk mengikuti pelatihan. Ya pelatihan, Pelatihan Kusus Mahir Dasar (KMD) untuk pembina pramuka. Hal yang tak pernah ku pikirkan. Meski harus meninggalkan perkuliahan, sungguh aku ikhlas untuk menjalankan. Pelatihan ini ku dapat dengan cuma, tanpa dipungut biaya. Justru pemerintahlah yang menanggung semua. Ya pemerintah, pemerintah Provinsi Jawa Barat, pelatihan ini untuk semua pembina pramuka Kab. Bogor. Rasanya bahagia, menjalin ukhuwah bersama mereka, dan inginku teteskan air mata, karena ini adalah kado terindah, merayakan hari bahagia di seluruh Indonesia. Ups! Ini juga hari guru saudara-saudara, ingin rasaanya ku berjumpa dengan Bu Jatut Prameswari dan mengucapkan Selamat hari guru, dosenku yang cantik. Kini usiaku 19 tahun, aku mendapat banyak kado yang berisi ilmu. Tidak hanya yang bersifat materi, disana aku juga belajar berimplamentasi. ini bukan tentang iazah, atau tentang KMD yang setingkat dengan Diploma III. Hadzahil nimatillah, mengawali dunia pendidikan dengan segala berkah.
Kujamah kembali lembaran yang tak berdosa. Kurapatkan shaf kata demi kata. Ku dengarkan iqomah berbicara, laluku ku mulai bercerita. Tak puas hanya mengajar pramuka. Berpakaian letnan, yang menjadikanku pahlawan dadakan. Aku haus akan ilmu, mencari tempat ajar baru. Paud. Tak puasku bercerita dengan siswa di bangku sekolah menengah pertama, kini aku bernyanyi bersama anak usia dini. Kala itu aku semester dua, ketikaku dilema menganalisis kesalahan berbahasa. Dosen tua itu, tugasnya hanya memerintah. Memberi materi jarang sekali, menyuruh mahasiswanya presentasi dan berbicara sendiri. Ya itulah kuliah, hanya tempat mencari saudara, tempat kontak mencari kerja dan obat para jomblo mencapai bahagia. Masyarakatlah tempat sesungguhnya aku mencari ribuan kata, berjumpa dengan anak-anak bangsa dan berbagi cerita bahagia. Tetapku jalankan bangku kuliah, berbagi waktu, antara berukhuwah, bercerita dan bernyanyi. Tetap tertawa meski hati tak kuat bejalan dengan dunia nyata, ada anak-anak bangsa yang mengahapus segala lelah. Anak-anakku adalah sumber bahagia.
Sudah 8.640 jam waktu berjalan, memang belum semua aspal aku lewatkan. Tapi Tuhan, selalu mengisyaratkan dengan panggilan. Sudah lama persetubuhan jarang kulewatkan. Tertama tentang malam. Jarang sekali aku menjamah al-quran. Bercerita tentang perasaan cintaku dengan Tuhan. Aku harap aku bukan seorang mantan, mantan yang mecintai-Nya hanya sebentar. Aku selalu menjalankan tugas sesuai aturan, tapi sayang semua hanya tentang keduniaan. Bukan tugasku dengan Tuhan. Sekarangku sudah mencapai semester gasal, tak ingin menyesal. Ketika Tuhan mulai aku abaikan, ada yang harus ku tinggalkan. Ayah yang sudah dapat menerima kenyataan, akhirnya berbicara. Tinggalkan saja anak-anak sekolahan, lanjutkan kedudukanmu di bangku perkuliahaan. Ini bukan waktunya kau mencari uang, ayah masih bisa membanting tulang untuk memberimu uang jajan. Kembali pada cita-cita, menggapai bahagia dengan sastra. Terlihat jelas gambar pensil di tembok kamarku. P-E-N-U-L-I-S. Sekali lagi, kata itu yang membuatku tak kehilangan arah. Istikhorohku telah bercerita, harusku hentikan bercerita dengan anak-anak bangsa. Kini ku hanya dapat bernayanyi dan meningkatkan ukhuwah.
Indah. Saat setiap sakitku adalah kata. Setiap sehatku adalah cerita. Aku butuh banyak nutrisi kata yang membuat jari-jemariku lebih kuat dari seorang petinju. Memukul setiap kejadian di tubuhku pada selembar kertas. Atau membiarkan pena-pena tertusuk pada setiap lapisan kulitku. Yang jelas aku hanya butuh kata. Tidak ada obat yang lebih hebat untuk menyembuhkan setiap pukulan atau tusakan pada tubuh ini. Perawat atau dokter yang disekolahkan bertahun-tahunpun tak cukup hebat untuk menyebuhkanku. Anak-anak didikku, adalah Erythtomycin. Obat biotik yang menjaga kekebelan metebolisme tubuh. Isi kandungannya tak jauh dari Paracetamol. Mengubah hypertermia pada tubuhku mejadi hyper-bahagia, lupa akan setiap duka. Alam dan kesendirian. Adalah bagian dari Librozym, vitamin yang menjadi suplemen makananku. Tubuh kurusku tak cukup kuat tanpanya. Ada efek samping yang menambah berat pemerolehan setiap kataku. Ya, kembali pada kata. setidaknya aku tak kehabisan tenaga untuk menjadi penulis cerita.
Bangku kuliah. Mengurangi setiap menit pertemuanku dengan anak-anak didikku yang lucu. Bahkan hampir tak ada waktu untuk mengintip setiap kelakuan aneh mereka. seperti ada yang menghilang. Saat dosen-dosenku memberikan setiap tugas. Menyita setiap waktuku, menghapus panggilanku sebagai Ibu Guru. Tujuan hidupku memang menyelesaikan kedudukanku dulu sebagai mahasiswa. Memperoleh toga, agar ayah dan ibu bangga. Andai kalian tahu, yang aku butuhkan bukan hanya sebuah foto yang mengenakan toga diatas kepala dan membiarkanku mengenakan kebaya seperti wanita sukses pencinta budaya bangsa, atau selembar ijazah dengan kata LULUS sebagai bukti Setrata pertama. Tapi mereka, mereka anak bangsa. Generasi muda, pengganti posisi generasi yang sudah mulai tua. Adalah bagian dari semangatku menjadi seorang mahasiswa. Mengubah setiap ucapan salah yang mereka keluarkan, akibat karya sastra dewasa.
Ayahku memang lelaki sukses. Yang membiarkan memiliki pendirian dan persepsi berbeda. Tetap sajaku takut durhaka. Disuruh berhenti bercerita dengan mereka di bangku Sekolah Menengah Pertama. Sekarang membiarkanku berhenti melihat tawa mereka, berhenti mengajarkan kata pada mereka dan membiarkanku terbelenggu seperti remaja putus cinta. Ayahku memang seorang paramerta. Tak ingin kuliahku terganggu oleh apapun dan siapapun. Setelah ia tahu betapa kecewa tak dapat menggapai cita-citanya. Menginginkanku sebagai seorang perawat atau bidan yang cantik di rumah tak sehat. Ayah bukan seorang lulusan sarjana. SMA-pun dilanjutkan ketikaku sudah mulai menduduki bangku sekolah. pekerjaanya sebagai seorang pengabdi negara, tak inginku menjadi kacung bagi negaraku sendiri Kata adalah kunci yang menjadikanku menjadi seorang pemimpin atau bos besar di negaraku sendiri ayah. Guru adalah kata yang menjadi pengantarku berbagi cerita kepada anak-anak bangsa. Jangan khawatir ayah, nutrisi kata dari setiap kejadian adalah bait-bait yang selaluku jadikan bahan mencapai cerita bahagia. Bila remajaku tak dapat menjadikan engaku tertawa, setidaknya sajak-sajak karyaku tak menjadikan kau mati dalam mimpi yang tak bisa membawamu kedunia nyata.
Komentar
Posting Komentar